Sabtu, 14 Agustus 2010

MARHABBAN

MARHABAN YA RAMADHAN (Kajian Seputar Shaum Ramadhan) Oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
oleh Ahmad Nugie Jayaprawira pada 14 Agustus 2010 jam 21:29

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut ataumenghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wasahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."

Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidakmenggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".



Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yangberarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di)dataran rendah yang mudah."



Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehinggamarhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan,untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkanperjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapangdada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "menggangguketenangan" atau suasana nyaman kita.

Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karenakita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkanperjalanan menuju Allah Swt.



Ada gunung yang tinggi yang harusditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yangmengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam danganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja,sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak denganjelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh,serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanandilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang Lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku MadarijAs-Salikin.



Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekalitu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita.Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadahkepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kitabuka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.



PUASA MENURUT AL-QURAN

Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalahmenahan diri untuk tidak bebicara:

Sesungguhnya Aku bernazar puasa(shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia-pun(QS Maryam [19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahirananaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yangmenyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.



Kata-kata yang beranekabentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak".Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apapun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahandiri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".



Kaum sufi, merujuk ke hakikatdan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakuppembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukansegala macam dosa.

Betapa pun, shiyam atau shaum –bagimanusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itupula puasadipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segipengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran danpuasa.



Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasauntuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyakulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

Sesungguhnya hanya orang-orang yangbersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.

Orang sabar yang dimaksud di siniadalah orang yang berpuasa.

Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimanadisinggung di atas.

Puasa wajib sebutan Ramadhan.

Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.

Puasa sunnah.

Tulisan ini akan membatasi uraianpada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan.



PUASA RAMADHAN

Uraian Al-Quran tentang puasaRamadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah,karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Parasejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.



Apakah kewajiban itu langsungditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap?Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami olehsementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185:

Barangsiapa di antara kamu yanghadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklahia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan,maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayatpuasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulislebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quranmewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagitidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentangpuasa sunnah tertentu.



Uraian Al-Quran tentangkewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islamuntuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalanpun.

Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilanmesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yangmewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalahuntuk kepentingan yang berpuasasendiri yakni "agar kamu bertakwa(terhindar dari siksa)."



Kemudian Al-Quran dalam suratA1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu punhanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempattinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa danmenghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya padahari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makanseorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa"berpuasa adalah baik."



Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwaorang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasadengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayattentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiridengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentangpuasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa ataupenyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa dibulan Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karenaitu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yangberdoa."



Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malamRamadhan, di samping penjelasan tentanglamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan denganhukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.



BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITANDENGAN PUASA

A. Faman kana minkum maridha(Siapa di antara kamu yang menderita sakit)

Maridh berarti sakit. Penyakit dalamkaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:

Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan

Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.

Sebagian ulama menyatakan bahwapenyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka.Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwaAl-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnuSirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa AllahSwt. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkankepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orangyang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatanyang lain.



B. Aw'ala safarin (atau dalamperjalanan)

Ulama-ulama berbeda pendapattentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yangsedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan.Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada jugayang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).



Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakahkarena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsure keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarakantara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapatdijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atautidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izinini.



Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangkaketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yangdibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkanhal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmatkemudahan dari Allah Swt.?



Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atauberbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki danSyafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknyadiserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat inidikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanandi bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yangberpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."



Memang ada juga ulama yangberanggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yangmampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendakikemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalamlanjutan ayat di atas, yaitu:

C. Fa 'iddatun min ayyaminukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebihkurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."



Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karenaterdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanyaditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidakberpuasa.



Sisipan semacam ini ditolakoleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian –buat mereka– menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalamperjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hariyang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.



Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis–tetapi dinilai lemah—yang menyatakan demikian. Tetapi adariwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya adakata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnyamemerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yangdiwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.



Meng-qadha' (mengganti) puasa,apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapatditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanyasegelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegeramungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah,bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatanitu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di sampingberpuasa, ia harus membayar kaffarat berupamemberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.



D. Wa 'alal ladzina yuthiqunahufidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannyamembayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]:184).

Penggalan ayat ini diperselisihkanmaknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt. memberi alternatif bagi orangyang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada jugayang berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harusberbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi merekadiperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.



Pendapat-pendapat di atas tidakpopuler di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat,sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezekilain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini.mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah.Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehinggatidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasukjuga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanitahamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang merekakhawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka merekaberbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.

Fidyah dimaksud adalah memberimakan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma(makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.



E. Uhilla lakumlailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malamRamadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:187)

Ayat ini membolehkan hubungan seks(bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa disiang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apapun. Karena itu walaupun ayat initak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namunpara ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yangtidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", makapuasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapimayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayarkaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di sianghari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabiadalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harusmemberi makan enam puluh orang miskin.

Bagi yang melakukanhubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari –paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan iashalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya.Demikian pendapat mayoritas ulama.



F. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyanalakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlahsampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).

Ayat ini membolehkan seseoranguntuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks)sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukanitu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yangterlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selamafajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelahberlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.



G. Tsumma atimmush shiyama ilal lail(Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).

Penggalan ayat ini datang setelahada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnyafajar.

Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam.Persoalan yang juga diperbincangkan oleh paraulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malamdengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah danmenyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan olehpengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yangberwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengananjuran Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belummasuk.

Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicaratentang puasa Ramadhan.



TUJUAN BERPUASA

Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan ataula'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga."

Ini berarti bahwa menahan diridari lapar dan dahaga bukan tujuan utama daripuasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."



Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amalputra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasaadalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya." Ini berarti pulabahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atauminum pada saat-saat tertentu dari siang haripuasa? Nah,kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia,sebabjika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikanpuasa dan maknahadis qudsi di atas.



Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turutbelasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhandengan benar, sesuaidengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannyakarena Allah semata.

Di sini Anda bolehbertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusiakepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.



PUASA DAN TAKWA

Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah"

Makna ini tidak lurus bahkanmustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diridari Allah ataumenjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamuberada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimatuntuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwamengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.



Sebagaimana kita ketahui, siksa Allahada dua macam.

Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.

Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.



Syaikh Muhammad Abduh menulis,"Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalanmenghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaandan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan,tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."



Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikiantidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis.

Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.



PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH

Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusiameneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusiasebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifatAllah).

Di sisi lain, manusiamempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhanfa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. AllahSwt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atauistri:

Bagaimana Dia memiliki anak, padahalDia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)

Dan sesungguhnya Mahatinggikebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin[72]: 3).

Al-Quran juga memerintahkan NabiSaw. untuk menyampaikan,

Apakah aku jadikan pelindung selainAllah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidakdiberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).



Dengan berpuasa, manusia berupayadalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makandan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.

Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapimencakup paling tidak sembilan puluh Sembilansifat yangkesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dankedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, danlain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.



Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut –bukan pada sisi lapar dan dahagasehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapardan dahaga."



PUASA UMAT TERDAHULU

Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, paraulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalamprinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Iniberarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjungke tempat tertentu sebagai pendekatan kepadaAllah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.



Kita dapat mempertanyakan mengapapuasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?

Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, danberhubungan seks. Binatang –khususnya binatang-binatang tertentu tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga –misalnya– ada waktu atau musim berhubungan seksbagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatangyang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.



Manusia sekali lagi tidak demikian.Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwaorang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yangdiperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagimenikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.



Syahwat seksual juga demikian.Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman danmenuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.

Potensi dan daya manusia –betapa pun besarnya– memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakansecara berlebihan ke arah tertentu –arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya– maka arah yang lain, –mental spiritual– akan terabaikan.Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.



Sebagaimana disinggung di atas,esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secaraindividu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diriitulah esensi puasa.

Puasa dengan demikian dibutuhkanoleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal olehumat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.

Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawabantentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama(diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yangmewajibkannya?



Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yangmewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untukmengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, makamanusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinyasendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yangselama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?

Di sisi lain bukankahNabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yangdikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadiRamadhan."



KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

Dalam rangkaian ayat-ayat yangberbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulanRamadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turunpada malam Qadar,

Sesungguhnya Kami telahmenurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.

Ini berarti bahwa di bulan Ramadhanterdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril)silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hinggaterbitnya fajar.

Di sisi lain –sebagaimana disinggungpada awal uraian—bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkanayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. Kepada hamba-hamba-Nya sertajanji-Nya untuk mengabulkan doa siapapun yang dengan tulus berdoa.

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentangkeistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak adakeistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka halitu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Search Tool